After, Wis-Sudah
Setiap
orang punya cara nya masing-masing untuk berjalan menuju impian. Ada yang harus
melewati jalan berbelok untuk sampai ditempat tujuan. Ada yang harus melalui
jalanan yang terjal untuk sampai ditempat tujuan. Ada yang harus beristirahat
sebentar untuk bisa sampai ditempat tujuan. Bermacam ragam. Yang tentunya
masing-masing pribadi harus tau jalan mana yang akan ditempuhnya menuju tempat
tujuan.
...adalah
aku yang baru saja mencicipi dunia pasca kampus. Masih terhitung bulan diresmikan
sebagai alumni kampus. Dari dulu, memang sudah ada bahasan pasca kampus. Bahkan
dulu itu ada senior yang mengingatkan untuk aku dan teman-temanku segera
membuat rencana yang akan dilakukan setelah tidak lagi berada dikampus. Ya
kalau yang mau pulang kampung, silahkan lakukan aktivitas kebaikan dikampung.
Jangan ketika sudah mau lulus, baru mikirin akan kemana. Disatu sisi orangtua
mendesak pulang kampung, di sisi lain kitanya bingung mau ngapain dikampung. Ya
kalau yang mau menetap di Medan, silahkan juga direncanakan yang akan
dikerjakan di Medan. Karena setelah lulus, akan semakin banyak godaan
pertanyaan.
Ternyata
petuah dari senior memang benar, terlebih beliau sudah lebih dulu merasakan
pahit getir nya setelah wis-sudah. “Sebelum wis-sudah, penting merencanakan yang
akan dilakukan setelah wis-sudah. Agar tidak kebingungan”. Kelulusan menjadi
sarjana merupakan sebagai titik bagi anak (harus) dikatakan dewasa. Melewati
hari-hari setelah wis-sudah bukan sedang melewati jalan mulus. Meskipun masih terbilang
baru beberepa bulan wis-sudah, aku yang awalnya nge-plan ini dan itu, bisa saja
goyah dengan pertanyaan serta ajakan temen-temen maupun orang yang baru saja
hadir dihidupku. Semisal gini, ada pertanyaan “kok nunda S2? Kan padahal orangtua nya sanggup. Bahkan orangtua
menyetujui”. Ditambah gini “ngapain
aja setahun tapi gak S2. Sayang waktunya terbuang sia-sia”. Aku yang
awalnya keukeuh dengan keputusan ku, jadi kepikiran dengan pertanyaan begituan.
Bahkan sampek ada yang bilang “Kan uda
sarjana, kok dirumah aja?”, atau singkatnya gini “kok gak kerja?”. Dan ada banyak pertanyaan lainnya. Yang muncul
tidak hanya dari lingkungan eskternal keluarga, bahkan dari internal keluarga
juga mengajukan pertanyaan yang hampir sama. Awalnya aku mikir, ya kan mereka
enggak tau segala pertimbangan aku ketika memutuskan sesuatu, dan emang aku
enggak ngasi tau ke mereka pertimbangannya. Jadi sebuah kewajaran mereka mengajukan
pertanyaan seperti itu.
“Takkan banyak yang begitu saja percaya bahwa kamu telah berjuang; melakukan yang kamu bisa. Sebab, tak semua oang mengerti caramu berjuang. Alur berpikirmu, dan pertimbanganmu dalam mengambil keputusan. Satu hal yang perlu diingat agar perjuangan tidak berhenti karena itu; jangan berharap pengakuan orang lain atas perjuanganmu”-Kurniawan Gunadi
Ketika
aku melihat teman-temanku, masing-masing dari mereka sudah melangkah lebih maju
dibanding aku. Aku merasa menjadi orang yang tertinggal jauh. Artinya, setelah
wis-sudah mereka sudah bergerak sementara aku diam melihat mereka bergerak.
Mereka sudah mengambil peran nya masing-masing, ada yang sudah keluar kota, ada
yang sudah menetap bekerja, ada yang sudah daftar bahkan ikut test S2, ada yang
sedang prepare ‘ilmu pra nikah, ada yang sudah megang amanah disini-disitu, dan
ada banyak lainnya. Aku yang melihat pertumbuhan mereka, menjadi orang panik
parah. Aku enggak mau tertinggal jauh dari mereka. Aku sangat ingin berjalan
bersama mereka untuk bisa mencapai titik puncak yang sama. Pikiran ku terkuras.
Aku jadi lebih sering mengurung diri. Sampai aku merasa puyeng sendiri. Aku
harus apa untuk bisa tumbuh bareng mereka? Aku harus ngapain untuk bisa
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ke aku? Aku? *nangis sesenggukan
Ladang tetangga memang indah,
menarik untuk diperhatikan. Kalau melihat ladang tetangga membuat lupa mengurus
ladang sendiri, ini hal yang tak boleh dibiarkan. Karena bisa mengakibatkan
rumput tumbuh diladang sendiri, sementara kita asyik melihat ladang tetangga.
Melihat tumbuh dan pergerakan temen-temenku emang asyik banget. Mereka sudah
bisa ini-itu, mereka sudah maju mengambil peran, mereka mereka mereka dan
mereka. Sehingga aku lupa “mengurus diri sendiri”. Yang padahal ada banyak yang
harus diurus oleh diriku sendiriku. Memang saking
asyiknya melihat teman, aku lupa sama targetan dan impian sendiri. Padahal,
mimpi-mimpiku belum tentu sama dengan mereka. Padahal jalan yang akan aku
tempuh belum tentu sama dengan mereka. Padahal tidak semua pertanyaan dari
orang lain harus dijawab dengan tempo waktu yang singkat. Enggak ada yang
instan, lagian aku yang masih diliputi kepanikan pun belum mampu menjawab
pertanyaan kepada diriku sendiri.
Aku buka laptop, aku baca
materi-materi yang pernah aku dapat. Dengan harap ada titik terang untuk berjalan
kedepan. Tidak lagi berjalan ditempat, berdiam diri, mengurung sendiri,
merenung sepi, nangis tragis. Ada file yang sudah berbulan tidak ku buka, tidak
lama sih karena aku mendapatkan materinya di bulan Desember 2017. Aku ingat,
ketika di Desember 2017 ada tugas yang diberikan kepadaku sebagai peserta salah
satu agenda online yang ku ikuti. Tugas nya membuat Life Plan sampai Life
Goals. Bahkan ada targetan sampai ditahun 2025. Ya disitu penekanannya, tidak
ada yang tau perihal takdir namun enggak ada salahnya merencanakan. Aku baru
sadar ketika membuka file tugasku yang pernah ku kumpul diagenda online
tersebut. Rapi. Runtutannya pun begitu apik (menurutku yes, gatau menurut orang
lain wkkwk). Ternyata aku sudah sedemikian rupa merencanakan semuanya. Merencanakan
arah tujuan yang akan dituju. Selama ini aku lupa, mungkin karena terlalu fokus
dengan melihat ladang orang lain dan fokus dengan pertanyaan orang lain.
Aku mulai mengambil nafas,
bertekad untuk berjalan pelan. Aku yakin aku sedang tidak sendirian. Menurutku,
aku harus fokus dengan apa yang sudah aku rencanakan. Tidak lagi fokus dengan
melihat teman-temanku maupun pertanyaan orang lain. Aku mohon ke Allaah untuk
diridhoi pada tiap derap langkahku. Selama ini aku lupa kalau teman-temanku
punya jalannya sendiri. Aku lupa, kalau aku juga menempuh jalan yang belum
tentu sama dengan jalan yang dilalui oleh temen-temenku. Ujungnya nanti, semoga
Allaah bersedia mempertemukan kami ditempat yang senantiasa kami
semogakan;syurga.
“Kalau kitanya sudah punya tujuan hidup (Life Goal), semenarik apapun jalan yang ditempuh orang lain, kitanya gak akan goyah. Menjadi penting melibatkan Allaah ditiap urusan. Memutuskan hal –hal yang semakin mendekat kita padaNya”.-dalam kenangan di Medan
Senantiasa meluruskan niat,
dalam perjalanan mungkin dipertengahan atau selama perjalanan, niat kita akan bengkok ketika melihat yang (tampak)
indah didunia ini. Seperti aku yang silau melihat jalan temen-temenku. Atau
mungkin aku yang ingin sekali orang-orang didunia ini tau kalau aku sedang
berjuang dengan cara memikirkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka,
padahal Allaah sudah menegaskan bahwa pengakuan yang perlu dikejar hanya
pengakuan dari Allaah. Allaah Maha Melihat. Bekerja saja. Berjuang saja. Sepi
dari sorak penilaian lah yang membuat Sa’id Bin Zaid tergolong dalam
Mubasysyirin bin Jannah (yang mendapat khabar gembira berupa Syurga).
Bekerjalah kalian, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat amal-amal kalian itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakanNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”(Q.S At Taubah [9]: 105)
Siapapun yang saat
ini maupun yang akan menjalani fase-fase “Dunia Pasca Kampus or Setelah
Wis-Sudah”, semoga Allaah kuatkan ya pijakan langkah, bathin yang tak mudah
tertekan, kekhawatiran yang semoga segera tertuntaskan, pertanyaan yang semoga
Allaah beri jawaban diwaktu yang tepat meski tidak cepat. Pun dengan semoga
semoga semoga lainnya. Yaqin gusti Allaah membersamai kita, karena sesungguhnya
Allaah itu begitu dekat. Fainni qorib kata Allaah dalam Al-Qur’an.
Komentar
Posting Komentar