Ujian, Sarana Naik Kelas


Hari itu, waktu terasa begitu mencekam. Ketakutan bercampur dengan kepanikan. Sebesar apapun sugesti yang kuberikan pada diriku sendiri, tetap saja ku memang perempuan yang super panik dihadapkan dengan situasi seperti itu. Semua contact yang ada diHandphone, berusaha ku periksa dengan teliti. Menghubungi orang-orang yang sangat memungkinkan untuk bisa menolongku saat itu. Ternyata, efek status yang ku tulis di Whatsapp membuat seantero contact Handphone ku turut panik. Puluhan pesan ku terima dengan pertanyaan yang sama, hampir sama, dan mirip. Aku yang sudah tidak punya tenaga, tentulah tidak bisa menjawab semua nya. Aku lebih memprioritaskan untuk membalas chat orang-orang yang bisa menolong ku saat itu juga. Karena memang sangat sangat sangat butuh pertolongan.
Seingatku, aku masuk ke Rumah Sakit masih bisa dihitung jari. Dan itupun tidak sampai sepuluh kali. Bahkan tidak sampai berhari-hari. Hanya sebentar menjenguk, setelah nya pulang. Maka, ini menjadi pengalaman pertama bagi aku. Gemetar disertai panik yang tak kunjung hilang, khawatir yang semakin bertambah ketika dokter mengatakan “wah ini sudah parah, kami tidak bisa menangani nya. Ini leher nya bolong, harus segera dioperasi. Jadi adiknya Mba harus segera dirujuk ke Rumah Sakit lain”. Jujur saja, disitu aku ngerasa puluhan paku sedang hujan tepat diatas kepalaku. Aku nangis histeris, nangis sekuat yang ku bisa. Dan bisa dibilang aku seperti orang yang frustasi saat dokter bilang kalau adik harus dioperasi. Dokter menyarankan untuk dirujuk ke Rumah Sakit Adam Malik. Saat itu Ibuk belum sampai di Rumah Sakit, Ayah pun masih dalam perjalanan Brastagi-Medan, jadi lah didalam Rumah Sakit hanya aku dan bapak yang bertanggungjawab atas kejadian ini. Bapak itu sedih, aku lihat raut wajahnya kebingungan. Terlebih ketika dia menanyakan soal biaya operasi ke dokter. Darimana mencari uang biaya operasi dengan jumlah yang segitu banyaknya?, mungkin begitulah yang ada dipikiran Bapak itu saat dokter menyebut angka perkiraan biaya operasi. Aku tak perduli dengan percakapan mereka meski aku mendengar percakapan mereka, aku terus saja menangis kuat. Kuat banget. Enggak lama kemudian, Bapak itu izin untuk mengurus biaya di klinik, sebelum adik dibawa ke Rumah Sakit, adik dibawa ke klinik. Aku hubungi saudara, teman, dan orang yang bisa ke Rumah Sakit segera. Aku butuh orang yang menemani aku  untuk memutuskan akan kemana adik dirujuk. Dokter terus saja mendesak agar adik segera dirujuk.
Aku sungguh sangat enggak berpengalaman dalam hal beginian. Yang terucap dibibir ku hanya kalimat “Laa Haula wa laa quwwata illa billaah, yaa Allaah jangan serahkan perkara apapun kepada ku. Bahkan untuk membuka mata aja aku enggak sanggup. Sungguh ya Allaah, aku tidak ada daya apa-apa. Kekuatan itu hanya berasal dariMu serta izinMu”. Terus berulang-ulang sambil nangis aku ngucapin itu. Aku ngerasa bener-bener lemah. Enggak berdaya. Enggak punya kekuatan. Untuk memutuskan adik akan dirujuk ke Rumah Sakit mana pun aku enggak sanggup memutuskan. Memang seharusnya manusia harus sering menginsyafi bahwa kekuatan itu cuma dari Allaah. Mulai dari gerak mata, penciuman hidung, pendengaran telinga, hingga nikmat lainnya ya cuma berasal dari Allaah. Kalau Allaah enggak mengizinkan, ya manusia tidak akan bisa apa-apa. Memang manusia lemah tanpa kekuatan dariNya.
Entah sudah berapa menit yang terbuang, aku masih belum bisa memutuskan. Aku masih keukeuh menunggu Ibuk sampai di Rumah Sakit baru adik boleh dirujuk. Dokter terus mendesak. Bingung, tentunya. Aku mondar-mandir, keluar-masuk, duduk-berdiri, telpon sana-sini, bales chat ini-itu, begitu terus. Sebelum aku menulis lembar rujukan Rumah Sakit, entah angin darimana, aku inget tulisan Mas Syukri (klik disini). Tulisan yang laaaaama sekali. Tulisan nya pernah ku share karna kisah nya menarik dan penuh hikmah. Aku inget tindakan yang diambil Mas Syukri, walaupun sebenarnya ini beda kasus dan beda cerita. Tapi aku yaqin kebingungan ku sama dengan kebingungan Mas Syukri waktu itu. Aku melakukan seperti yang Mas Syukri lakukan;berdiri tegak bertemu Allaah, sujud mengakui kelemahan manusia, ngadu ke Allaah, minta petunjuk, biarin Allaah yang nunjukin jalannya sebab Allaah berhak atas keputusan-keputusan dalam hidup manusia. Lagipula, aku belum shalat Ashar. Selepas shalat, aku berdoa super singkat. Berdoa dengan harapan saat itu juga doa ku mampu mengetuk pintu langit dan Allaah langsung bersedia mengabulkan doaku.
Who knows, kita gak akan tahu “kapan” Allaah mengabulkan doa-doa kita. Bisa saja semenit setelah berdoa, sejam, sehari, seminggu, sebulan, setahun, dan lain-lainnya. Yang jelas, Allaah mengabulkan diwaktu terbaik. Bagi ku, waktu terbaik saat itu ialah beberapa menit setelah aku berdoa dengan doa yang super singkat. Dengan doa yang berharap besar mampu mengetuk pintu langit lalu Allaah bersedia segera mengabulkannya. Selesai shalat, aku coba buka Al-Qur’an. Ternyata cuma sanggup baca 1 ayat, ya 1 ayat. Tidak lama kemudian, bapak itu dateng lagi ke Rumah Sakit, kali ini bersama istrinya. Bapak itu menyarankan untuk segera merujuk adik ke Rumah Sakit lain. Bismillaah, aku sepakat. Dokter pun mengatakan bahwa adik bisa dirujuk ke Rumah Sakit Bina Kasih, dan kalau luka nya masih bisa dijahit akan dijahit. Tapi kalau tidak bisa, akan diambil tindakan operasi. Aku minta tolong ke Bapak dan Istrinya untuk nemeni adik ke Rumah Sakit Bina Kasih bersama ambulance. Biar aku tetap di Rumah Sakit ini dulu, sambil menunggu Ibuk. Hanya sekitar 5 menit ambulance bergerak, Ibuk sampai di Rumah Sakit. Kami larut dalam isak tangis yang berbarengan. Aku minta Ibuk segera nyusul adik ke Rumah Sakit Bina Kasih. Aku harus mikirin solusi yang bisa ngambil kereta dirumah warga. Ada temen yang sama sekali aku belum pernah ngobrol langsung dengan nya, hanya karena aku pernah memegang amanah dan pernah berurusan dengan dia, dia menawarkan bantuan bahwa dia bersedia mengambil kereta ku dirumah warga.
Semua menjadi serba pertama kali. Aku yang sangat jarang ke Rumah Sakit, menjadi pertama kalinya sering bahkan tidur di Rumah Sakit. Aku yang sangat jarang memiliki pulsa banyak, menjadi pertama kalinya aku punya pulsa dengan jumlah yang cukup mengagetkan. Aku yang sangat jarang meminta pertolongan banyak orang, menjadi pertama kalinya meminta pertolongan ke semua orang dicontact Handphoneku. Bahkan ke orang yang sama sekali belum pernah ngobrol langsung denganku. Aku yang sangat jarang perduli (terbilang cuek) dengan lingkungan sekitar, menjadi pertama kalinya berusaha untuk peka dengan keadaan orang lain bahkan sebisa mungkin turut membantu. Pengalaman yang mengerikan hari itu membawa hikmah yang banyak bagi keluargaku, khususnya bagi aku. Pertolongan yang tiada habisnya Allaah kasi melalui saudara terdekat, teman, saudara seperjuangan, bahkan dari orang yang baru pertama kalinya ngobrol dengan ku. Saat mengurus surat-surat yang dibutuhkan Rumah Sakit, ada saudara seperjuangan yang bersedia lelah-lelah menempuh jarak jauh untuk menemani. Saat harus jaga rumah, ada teman until jannah (insyaa Allaah) dan sanak saudara yang bersedia meluangkan waktu untuk menemani. Saat harus gantian jaga Rumah Sakit, lagi lagi aku meminta bantuan saudari-saudari seperjuangan dan mereka bersedia menemani. Saat aku dan keluarga mikirkan pakaian jemuran yang kami tinggal dirumah, ada tetangga yang bersedia mengangkat pakaian. Yaa Allaah, hari itu dan hari-hari yang dilalui sebelum adik keluar Rumah Sakit, banyak sekali melibatkan orang lain yang tentunya mereka hadir dalam kehidupanku atas izinMu.
Pertolongan Allaah benar-benar sampai melalui tangan mereka. Aku sampai enggak tahu cara mengungkapkan terimakasih padaMu dan pada mereka yang sudah bersedia membantu. Entah bagaimana cara nya mengucapkan terimakasih diatas rasa terimakasih. Juga untuk teman-teman yang belum pernah bertemu maupun duduk bareng tapi sudah turut panik serta mengisikan pulsa (hiks), aku sangat berterimakasih sekaligus minta maaf tidak bisa balas satu persatu chat kalian. Maafin keterbatasan ku ketika itu. Terlebih, maafkan sudah merepotkan kalian ketika itu. Pun yang turut mendoakan, sungguh ku sangat berterimakasih.*bener bener elap ingus*
Barangkali, hari itu beserta hari-hari yang dilalui sebelum adik keluar Rumah Sakit merupakan hari-hari yang menjadi sarana untuk naik kelas. Aku dan keluarga saat itu sedang ditarbiyah langsung oleh Allaah. Allaah hadir ditengah-tengah aku dan keuargaku, menguatkan langkah kami untuk bershabar agar naik kelas selesai ujian ini. Bertahan dengan tidak memilih berbalik arah menjadi salah satu pilihan yang tepat; shabar. Kalau lah Allaah tidak mengkaruniakan rasa shabar pada manusia, mungkin banyak dari kita yang akan menyerah begitu saja. Ahh, memang yang tertumpah ruah memang tetap cinta. Allaah ndak bakal mungkin tega memberi pelajaran tanpa hikmah. Percayalah !

Allaahumma ahsin ‘aaqibatanaa fil ‘umuri kullihaa wa ajirnaa min khizyid dun-yaa wa ‘adzaabil aakhirah

Komentar

Postingan Populer